Mentransfer Jiwa Kyai Kepada Jiwa Guru
https://www.rokhim.net/2013/06/mentransfer-jiwa-kyai-kepada-jiwa-guru.html
Pendidikan
dalam islam mempunyai cita-cita yang
sangat mulia sebagaimana yang dikatakan oleh yusuf qardhawi bahwa pendidikan itu untuk mencetak manusia
seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.
Karena pendidikan islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan
aman maupun perang, dan menyiapkan untuk
menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan
pahitnya[1].
Semakin
dinasmisnya perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh berbagai faktor,
pendidikan mengalami problematika yang sangat besar. Salah satu problematika
yang sangat serius adalah dunia lapangan kerja. Lapangan kerja dibuat
kesempatan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengkomesrsialkan pendidikan,
akhirnya pendidikan bernilai sebuah profesi yang harus dikejar untuk
mendapatkan materi, bukan atas nama keikhlasan untuk memperjuangkan agama tuhan,
sehingga pendidikan tidak mencetak kader anak bangsa yang bermutu melainkan
menumbuhkan jiwa-jiwa yang tidak taat terhadap agama.
Salah
satu pihak yang terlibat dalam kasus pendidikan adalah guru. Selama ini dalam
kasus lapangan kerja, guru tidak lagi memperhatikan nilai-nilai keikhalasan
dalam memberikan ilmunya. Profesi guru dibuat kesempatan untuk menghidupi
kebutuhan hidupnya, sehingga dari sekian beberapa guru tidak melaksanakan
amanahnya sebagai seorang pendidik.
Sebesar
apapun nilai materi yang diterima oleh guru tidak lepas dari amanahnya, yaitu
membimbing tanpa lelah. Selama ini para guru sering tidak masuk kelas, dengan
berlandaskan gaji yang ia terima tidak memenuhi kebutuhan hidupnnya bahkan
mengajar dibuat alasan untuk mengejar dana tunjangan dari pemerintah, meskipun
ia tidak mampu memenuhi persyaratan tertentu, sehingga akibat dari kekurang ikhlasan
tersebut nasib lembaga dan anak didik menjadi tidak bermutu.
Dengan
melihat beberapa deskripsi di atas perlu kita melihat pendidikan yang berjalan
di pesantren dari masa klasik sampai sekarang. Pendidikan pesantren yang tidak
mempunyai kurikulum yang jelas telah mampu mencetak kader-kader ulama,
intelektual, praktisi, dan lain-lain.
Jika
dilihat dari profil pendidik seorang kyai mereka tidak mendapatkan nilai materi
sama sekali dalam menularkan ilmunya. Akan tetapi semangat dan keikhlasan para
kyai dan ustadz sangat besar, sehingga pendidikan
lebih mudah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Sang
kyai untuk mencapai pendidikan tentunya melalui proses yang sangat panjang,
disamping mengedepankan keikhlasan dalam menularkan ilmunya, pendekatan spiritual
menjadi senjata yang utama untuk mendidik jiwa para santri sehingga tidak kenal
lelah untuk mendo’akan para santrinnya, amanah dalam menjalan tugasnya
pendidik, dan berakhlak mulia yang menjadi tauladan anak didik.
Maka
dari itu sebagus apapun strategi yang digunakan guru dalam proses
pembelajaran tidak akan berpengaruh
terhadap tingkah laku pendidik, jika dalam jiwa guru terdapat moral yang kurang
baik, maka dari itu perlu sekali sebagai seorang pendidik mentransfer jiwa-jiwa
kyai kedalam jiwa dirinya, yaitu tidak mengharapkan nilai materi apapun,
senantiasa mendo’akan anak didiknya, amanah dalam menjalankan tugasnya, dan
berakhlak mulia.
Jika
seorang guru mampu mentransfer jiwa kyai dalam dirinya, niscaya seorang guru
tidak akan terpesona dengan Sertifikasi, PNS, TFG, dan Inpasing yang kadang
pula mengakibatkan berbuat curang untuk mendapatkan uang dan kurang
memperhatikan nasib siswa. Mengejar profesi dalam islam tidak dilarang, akan
tetapi jangan sampai lupa tugasnya seorang pendidik, yaitu mendidik tanpa lelah untuk mengharapkan peserta didik agar menjadi insan yang berkwalitas baik dalam segi spiritual, akhlak dan intelektual.
[1] Umiarso dan Haris fathoni Makmur, Pendidikan Islam Dan Krisis
Moralisme Masyarakat Modern: Membangun Pendidikan Islam Monokhomotik - Holistik
(Jogjakarta:Ircisod, 2010), h. 32.
Silahkan Lampirkan Komentar anda pakai Anonymous, supaya lebih mudah