BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak
orang yang merasa kebingungan ketika mereka mulai menyadari harus berinteraksi
dengan Al Quran. Di satu sisi meyakini Al Quran adalah kitab berisi petunjuk
dan pedoman kehidupan sehingga mereka berkesimpulan bahwa yang paling penting
berinteraksi dengan Al Quran adalah memahaminya agar dapat diamalkan, namun
tidak sedikit yang berkeyakinan bahwa membaca Al Quran dalam arti membaca
rangkaian huruf demi huruf, kata demi kata dan kalimat demi kalimat adalah
semata-mata untuk nilai ibadah saja tanpa ada beban harus memahaminya walaupun
meyakini pentingnya memahami al Quran tersebut.
Ada
juga yang bersungguh-sungguh menghafalkannya karena memang tidak sedikit
keterangan-keterangan baik dari al Quran maupun sunnah Rasulullah saw yang
menekankan pentingnya menghafal Al Quran. Efek yang buruk dari pemahaman yang
parsial berkaitan dengan tuntutan berinteraksi dengan Al Quran pada
akhirnya mengantarkan seseorang pada sikap saling merendahkan pendapat yang
lain dan mengunggulkan pendapat pribadinya.
Jadi didalam berinteraksi dengan al-Qur’an
harus berjalan secara proposional yakni dengan cara menghafal, membaca,
mendengarkan, menyimak dan memperhatikannya. Tapi disisi lain manusia harus
memahami al-Qur’an dengan penafsiran yang baik dan sudah ditentukan. Karena allah
SWT menurunkan al-Qur’an agar kita mendalaminya, memamahami rahasia-rahasianya,
mengeluarkan karunianya dan masing-masing menurut kadar kemampuannya.
Untuk menghindari pemahaman dan penafsiran
al-Qur’an, manusia harus mengikuti ilmu penafsiran yang sudah ditentukan oleh
para ulama’ karena didalam penafsiran terdapat celah yang yang sangat berbahaya
terhadap pemahaman dan penafsiran al-Qur’an sendiri sehingga a-Qur’an ajaran nantinya
al-Qur’an tidak sepenuhnya dijalankan menurut anjuran Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN
B.
Biografi Yusuf Qardawi
Nama lengkapnya adalah
Yusuf Abdullah Qardhawi dilahirkan pada
tanggal 9 September
1926 disebuah desa
yang bernama Shaftu Turab,
daerah Mahallah al-Kubra
Provinsi al-Garbiyah Republik Arab
Mesir, dari kalangan keluarga yang taat
beragama dan hidup sederhana. [1]
Ayahnya adalah
seorang petani yang
wafat pada saat Qardhawi
berusia dua tahunsehingga
ia dipelihara oleh pamannya dan hidup bergaul dengan putra
putri pamannya yang diangga sebagai saudara
kandungnya sendiri. Saat
berusia sepuluh tahun, ia
belajar pada sekolah al-Ilzamiyah pada pagi
hari dan sore harinya ia belajar
al-Quran. Pada usia itu ia telah
hafal al-Quran dan
menguasai Ilmu Tilawah.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya
ke Tanta dan
menamatkan pendidikannya
pada Fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar pada tahun 1952/1953 dengan
predekat terbaik. Setelah
itu ia belajar bahasa
Arab selama dua
tahun dan memperoleh
ijazah internasional dan sertifikat
mengajar. Tahun 1957
ia melanjutkan karirnya di Ma’had
al-Buhus wa al-Dirasat
al-Arabiyah al-Aliyah (Lembaga Tinggi Riset dan Kajian Kearaban).
Tahun 1960 ia
menamatkan studi pada
Pascasarjana di Universitas Azhar
dengan konsentrasi Tafsir
Hadits. Selanjutnya Qardhawi
berhasil menyelesaikan pendidikannya
pada program Doktor dengan disertasi Fiqh al-Zakah pada tahun 1972 dengan
predikat cumlaude[2].
Qardhawi
memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang
sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja
sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Dan hebatnya
lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak
perempuannya dan anak laki-lakinya.[3]
Salah
seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari
Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari
Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah
menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika.[4]
Anak
laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang
kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah
menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.[5]
Dilihat
dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan
Qardhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang
belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama.
Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar
negeri. Sebabnya ialah, karena Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak
pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami,
tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu
secara dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.
C. Pandangan Yusuf Al-Qardhawi terhadap Al-Qur’an
Menurut
pandangan Yusuf Qardhawi Al-Qur’an adalah kitab Ilahi yang bersumber asli dari
Allah dan diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai pedoman hidup beragama. Untuk
itu al-Qur’an perlu dipahami oleh
manusia secara umum, untuk mencapai tingkat pemahaman tersebut perlu diadakan
penafsiran. Barang siapa yang hendak menafsiri al-Qur’an Menurut Qardhawi harus
mempersiapkan pirantinya, mempersiapkan akalnya, amal dan jiwa.[6]
Meskipun
al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab yang berlaku dimasyarakat hijaz pada
saat itu, al-Qur’an tetap tidak terlepas dari kalam ilahy. Karena ada sebagian
kelompok manusia yang menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan hasil dari kebudayaan
masyarakat arab, sehingga al-Qur’an tidak dapat disesuaikan dengan pemikiran
manusia selayaknya karya ilmiah.
Untuk
menunjukkan bahwa al-Qur’an memang sebagai kalam ilahi selanjutnya Yusuf Qardhawi
memberikan penjelasan bahwa al-Qur’an sebagai kalam allah yang mempunyai
Mu’jizat. Diantara kemukjizatan al-Qur’an adalah
1.
Lafadz-lafadz dan susunan kata
(tarkib) yang digunakan,Al-QUr’an telah menggunakan lafadz-lafadz dengan
susunan kata yang amat unik. Ayat-ayat yang menggunakan lafaza lembut untuk
mengungkapakan makna lembut,makna yang kasar untuk diungkapkan dengan lafaz
yang kasar dan seterusnya. Ayat yang menggunakan lafaz yang lembut untuk
mengungkapkan makna yang lembut terdapat pada surat Al-Insan : 17-18
2.
Irama kata yang
digunakan,susunan huruf-huruf dan kata-kata dalam Al-Qur’an tersusun dalam
irama yang amat unik tidak dapat dijumpai dalam pembicaraan manusia,baik syair
maupun kalimat bersajak,sebagai contoh dalam surat At-Ta’wir : 15-18
3.
Lafaz dan susunan kata yang
digunakan mencakup makna yang beraneka ragam dan menyeluruh,Al-Qur’an telah
memberikan makna yang panjang lebar (mendalam) dengan menggunakan lafaz yang
ringkas,sebagai contoh dalam surat Al-Baqarah : 179.[7]
Lebih lanjut Qardhawi menjelaskan bahwa al-Qur’an meruapakan kitab
yang memuat berbagai ajaran, diantaranya adalah Aqidah sebagai petunjuk untuk
mengetahui dan mempercayai tuhan yang hakiki. Dibalik aqidah tersebut juga ada syari’at,
ajaran syari’at dalam al-Qur’an mempunyai nilai perintah dan larangan yang
harus dilaksanakan dan dijauhi oleh segenap
umat islam. Tidak hanya berupa
Aqidah dan syari’at saja, akan tetapi di dalam al-Qur’an juga akhlak baik
Akhlak rabbani maupun insani.[8]
Ajaran Aqidah, syari’at dan akhlak tersebut berlaku semua
zaman, kitab untuk semua manusia, kitab untuk semua agama dan kitab untuk semua
hakekat. Dengan artian kitab yang kekal bukan untuk masa tertentu atau bukan
untuk generasi tertentu. Yang dimaksud Qardhawi adalah hukum al-Qur’an tidak
bersifat temporal dengan batasan waktu tertentu, dan setelah itu tidak
diamalkan lagi.[9]
D. Berintraksi dengan al-Qur’an dalam Menghafal
Salah
satu cara agar manusia bisa berinteraksi dengan al-Qur’an yaitu dengan
menghafal, Imam Qardhawi sendiri termasuk orang yang hafal al-Qur’an semenjak berumur 10 tahun. Tidak sedikit
pula anjuran dari Al-Qur’an baik
al-Sunnah yang menekannkan untuk menghafal Al-Qur’an. Dibalik itu orang-orang
yang menhafal al-Qur’an akan mendapat kemualiaan khusus, dan ditempatkan ditempat
yang tersendiri Oleh Allah SWT.
Ada beberapa adab bagi penghafal al-Qur’an yang
harus dilakukan yaitu:
1.
Kebersamaan dengan mushaf
Bagi para Hufadz harus menjadikan mushaf
sebagai teman pada setiap saat, dengan
artian wajib bagi para orang yang hafal a-Qur’an mengulang-ngulang setiap
bacaaan surat Al-Qur’an dengan bersandar
kepada Mushaf supaya al-Qur’an senantiasa mengikat pada dirinya.[10]
2.
Menerapkan akhlak al-Qur’an
Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Nabi,
Beliau menjawab Menjawab “Sesungguhnya Akhlak Nabi Allah adalah Al-Qur’an.” yaitu
tingkah laku, petuah, perintah, dan larangan Nabi merupakan realisasi dari
wahyu itu sendiri. Orang-orang yang hafal al-Qur’an harus menjadi cermin,
sehingga manusia bisa melihat gambaran aqidah al-Qur’an, nilai-nilainya, adab
dan nilainya pada dirinya.[11]
3.
Ikhlas dalam Mempelajari al-Qur’an
Untuk berinteraksi dengan al-Qur’an seoarang
yang hafal al-Qur’an harus memurrnikan niatnya karena allah semata, bukan untuk
menyombongkan diri dan mencapai keduniaan.[12]
E. Berintraksi dengan al-Qur’an dalam Membaca
Membaca
Al-Qur’an, walaupun tidak memahami makna yang terkandung di dalam ayat yang
dibaca, sangat dianjurkan dalam agama. Seseorang yang mebaca satu huruf dari
huruf-huruf Al-Qur’an diberi pahala satu kebajikan oleh Allah swt. Hal
tersebut tercermin dalam firman Allah SWT:
Artinya:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya, Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”(Q.S.
Al-Qiyamah 16-19)
Ayat
diatas menegur rasululah untuk tidak tergesa-gesa dalam membaca al-Qur’an
ketika malaikat jibril belum selesai membacakannya atau mencontohkannya. Dengan
kata lain bahwa rasullah mulai berinteraksi dengan al-Qur’an dalam segi bacaan.[13]
Dalam
membaca al-Qur’an tidak terlepas dari adab, diantara adab atau sikap yang sopan
bagi untuk membaca al-Qur’an adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Yusuf
Qardhawi
a.
Tartil, kalam allah berbeda dengan perkataan
siapapun maka dari itu al-Qur’an harus dibaca dengan tatacara yang benar yaitu
dengan jalan tartil. Harapannya dengan membaca al-Qur’an dengan cara tartil
dapat memperjelas huruf dan harakatnya.
Dan membaca al-Qur’an secara tartil pahalanya lebih besar dari pada membaca
al-Qur’an dengan cepat meskipun lebih banyak bacaannya.
b.
Berlagu dan Membaguskan Suara Bacaan
Al-Qur’an
merupakan kalam allah yang paling mulia, maka membaca dengan suara yang bagus
dapat menambahkan kebaikan al-Qur’an itu sendiri, harapannya suara yang bagus
akan menggetarkan hati dan jiwa dan manusia.
Sebagaimana
perkataan Yusuf Qardhawi yang dikutip dari imam as-Suyhuthi yang menyatakan
kesunnahan dalam melantunkan bacaan sebagaimana Sabda Nabi[14].
Menurut
jumhur ulama sebagaiman yang dikutip dari Al-Rofi’y dimakruhkan membaca secara
berlebih-lebihan, baik dalam mad dan penekanan harakat, sehingga fathah dibaca
alif, dhammah menyerupai wau, atau dibaca idgham ditempat yang tidak semestinya
dibaca idgham.
Untuk
berinteraksi dengan Al-qur’an dengan sempurnah dalam setiap bacaan seorang
hamba harus memperhatikan (Tadabbur), merasakan pengaruh, mengagungkan kalam
dan Allah SWT , menyelaraskan dengan jiwa.
F. Berintraksi dengan al-Qur’an dalam Menyimak
Berinteraksi
dengan al-Qur’an dalam menyimak harus disertai dengan memperhatikan dengan
tenang serta menghayati setiap kandungan
ayat[15].
Mendengar dengan cara tenang dapat membantu konsentrasi pikiran dan berpengaruh
terhadap hati, sehingga berinteraksi dengan al-Qur’an dapat dirasakan dengan
benar.
Disamping
memperhatikan dengan sungguh di dalam menyimak al-Qur’an harus merasakan
pengaruh dengan menghayati isi kandungan ayat itu sendiri, sehingga manusia
dapat menyatu dengan al-Qur’an dalam berinteraksi.
Menyimak
al-Qur’an yang sesuai dengan tuntunan sangat berpengaruh untuk melunakkan hati,
sebagaimana keutamaan allah yang diberikan kepada beberapa sahabat. Mereka para
sahabat merunduk bersujud, menangis dengan kekhusyu’dan bertasbih dan memuji
allah. Ini gambaran orang-orang yang berhasil berinteraksi dengan al-Qur’an
melalui menyimak.[16]
G. Berinterak Dengan al-Qur’an dalam Pemahaman dan
Penafsiran
Mengkaji
Al-Qur’an adalah upaya lanjutan yang dilakukan untuk memahami dan menghayati
Al-Qur’an secara lebih dalam. Pengkajian terhadap Al-Qur’an pada langkah ini
dilakukan dengan mempelajari dan mengkaji secara lebih dalam dan lebih luas
lagi.
Pada
tahap ini, kita dituntut tidak hanya untuk memahami arti ayat-ayat Al-Qur’an
secara harfiyah, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu mempelajari penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an. Mempelajari dan memahami penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
akan menjadikan kita memahami lebih jauh lagi pesan yang terdapat dalam
ayat-ayat itu dan pesan-pesan yang terdapat di balik ayat-ayat itu, dan
ini hanya dapat diperoleh melalui pengkajian yang lebih dalam.
1.
Mengkompromikan
antara Riwayah dan Dirayah
Untuk memperoleh pemahaman yang baik dan benar
metode yang dipakai oleh Yusuf Qardhawi adalah mengkompromikan antara Riwayah
atau bil Ma’tsur dengan Dirayah atau Bil Ra’yi karena masing-masing kedua
mempunyai kelemahan dan kelebihan, maka dari itu perlu untuk mempertemukan
diantara keduanya.
Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa metode bil ma’tsur secara operasionalnya
penafsiran yang mengutip ayat al-Qur’an sendiri, hadist-hadist nabi, dan
pendapat tabi’in[17].
s sementara Bi Ra’yi adalah upaya untuk
memahami Al-Qur’an dengan Ijtihad mufassir dengan beberapa dalalah yang kuat[18]
Metode Bil
ma’tsur sebagaimana yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawai Bahwa tafsir bil
ma’tsur sendiri juga mempunyai kelemahan-kelemahan, diantaranya:
a.
Adanya riwayat yang dha’if maudu’ dan mungkar
yang dinukil dari rasullah, sahabat dan tabi’in
b.
Adanya pertentangan riwayat yang satu dengan
yang lain
c.
Diantara sebagain bil ma’tsur ada sebagian
pendapat dari orang yang bersangkutan, sehingga tidak ada jaminan dari
kebebebasan dari kesalahannya.
d.
Tafsir
bil-ma’tsur seperti yang disampaikan kepada kita, bukan merupakan tafsir yagn
sistematis, megnuapas al-Qur’an, surat demmi surat, mengupas surat, ayat demi
ayat, kata demi kata.[19]
Jika seorang
mufasir menitik beratkan pada penafsiran dengan cara ini terlalu sempit dsangat
sulit untuk membuka ruang berfikir sehingga interaksi dengan al-Qur’an melalui
penfasiran sangat sulit untuk dicapai. sebagaimana yang dikatakan oleh Yusuf
Qardawi metode penafsiran yang terbaik adalah dengan mengkompromikan Riwayah dan
Dirayah, yaitu mengkompromikan penukilan yang shahih yang bersumber dari
Al-Qur’an, hadist, Riwayah sahabat, Riwayat tabi’in dan memakai penalaran yang
kuat, menyatukan pendapat-pendapat orang salaf dan pengetahuan orang-orang
khalaf.
Pengompromian bil Riwayah dan
Dirayah sebenarnya banyak dilakukan oleh para pemuka tafsir ternama seperti
Ibnu Jarir Al-Thabary, sebagaimana yang tertuang dalam kitab Eksiklopedia
tafsir, Jami’ Bayan Fi Tafsir al-Qur’an. Al-hafidz Ibnu katsir
sebagaiman yang tertuang dalam kitabnya Tafsir Al-qur’anil Adzim. Imam
Qurthuby sebagaimana yang tertuang dalam kitabnya Al-Jami’ Li Ahkamil hal
teresQur’an.[20]
Ibnu
Sa’ad mentakhrij di dalam Ath-Thabaqat, dan Abu Nu’aim didalam Al-Hilyah
dari Abu Qilabah, dia berkata, “ Abu daud berkata, “Engkau tidak bisa memahami
secara tuntas hingga engkau melihat Al-Qur’an dari beberapa sisi.”
Ibnu
Sa’ad Mentakhrij bahwa Ali pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “ Temuilah mereka
(orang-orang Khawarij) dan jangan mendebat mereka dengan Al-Qur’an, karena
Al-Qur’an mempunyai beberapa sisi, tapi debatlah mereka dengan Al-Sunnah.”
Ibnu
Abbas menimpali, “Aku lebih tahu tentang kitab Allah dari pada mereka. Kemudian
Ali berkata,” engkau benar. Tetapi Al-Qur’An itu bisa ditafsiri dengan beberapa
makna.”
2.
Mengutamakan Ayat Muhkam dari Mutasyabihat
Ayat Muhkam
adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui baik melalui Takwil maupun tidak,
sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah
SWT dan mengandung beberapa kemungkinan
sisi arti yang lain seperti terjadinya
hari kiamat, keluarnya Dajjal dan potongan-potongan huruf pada awal surat.[21]
Mutasyabihat
ada dua macam, yaitu mutasyabihat dalam lafadz dan Mutasyabihat dalam segi
makna. Kesamaran dalam segi lafadz dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Kesamaran
dalam lafadz mufrodat, maksudnya lafdz
tersebut idak jelas baik disebabkan oleh maknanya yang asing atau lafadznya
yang musytarak seperti contoh وفاكهة وأبا (dari buah-buahan serta retumputan) kata “أبا” adalah
kata yang jarang digunakan dalam kosa kata bahasa arab atau al-Qur’an sehingga terlihat asing. Kemudian
untuk memahami kata أبا disusul dengan ayat yang lain yaitu
متاعا لكم ولأنعا مكم (untuk kesengan kalian beserta hewan
piaraan) dengan adanya ayat ini, maka menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan أبا adalah sejenis tumbuhan atau rerumputan yang dikonsumsi oleh
manusia maupun hewan.
b.
Kesamaran
dalam lafadz murakkab
Kesamaran
dalam lafadz murakkab dapat terjadi karena lafadznya terlalu ringkas, terlalu
luas pengertiannya dan susunan lafadznya tidak berututan
Mutasyabihat
dalam segi makna, hal ini terjadi karena kesamaran makna pada ayat seperti
makna dari sifat-sifat allah, Ar-Rohman dan ar-rohim. Kesamaran
tersebut bukan karena lafadz yang asing atau bermakna ganda, akan tetapi Karena
keterbatasn akal manusia untuk menjangkau makna-makna tersebut.[22]
3.
Menjauhi Takwil yang Salah
Yusuf Qardhawi sendiri bukanlah
seseorang yang anti takwil, dia sangat terbuka terhadap takwil. Akan tetapi
selama Nash al-Qur’an dapat dipahami menurut Dzahirnya maka wajib
memakai makna Dzahirnya tersebut, tidak semua orang diperkenankan untuk
menakwil al-Qur’an akan tetapi dibutuhkan orang -orang khusus yang menguasai
tentang kaedah-kaedah tafsir.
Takwil(mengalihkan
makna hakiki menuju makna yang majazi) tidak boleh dilakukan terkecuali ada
dalil yang kuat atau hubungan yang bisa dilakukan untuk mengalihkan dari makna
aslinya menuju majazi (kiasan). Dan juga
lafadznya harus mengandung kemungkinan untuk di takwil. Sangat bahaya sekali
penakwilan yang tidak sesuai dengan maksud Allah dan rasul-Nya.[23]
Dalam masalah takwil ia banyak
mengkriitik para kalangan filosof dan aliran-aliran kebathinan Menurt yusuf Qardhawi takwil para filosof, terlalu berlebih-lebihan
sehingga memasukkan takwil kepada ruang lingkup aqidah tentang ilahi,
pengabaran-pengabaran ghaib dan sam’iyat.[24]
Bahkan para filosof menggangap semua ayat yang ada di dalam al-Qur’an dapat
dipastikan mempunyai nilai-nilai rasional, jika Dzahir lafadz bertentangan dengan rasio maka perlu
dialihkan terhadap Majazi atau kiasan.[25]
Cita-cita para filosof menyatukan
filsafat yang mereka kagumi dan agama yang mereka miliki. Tapi mereka
menjadikan filsafat sebagai pangkalnya dan menjadikan agama sebagai cabangnya. Para
kalangan filosof menganggap perkataan aristoteles sebagai rujukan sedangkan
firman Allah SWT dan Sabda Rasul sebagai perkataan yang mengikutinya, jika
keduanya tidak berjalan dengan beriringan mereka harus menakwili keduanya, tak
peduli apakah takwil tersebut dekat ataupun jauh.[26]
Yusuf Qardhawi juga mengkritik golognan
kabatinanan, menurut yusuf Qardhawi takwil boleh dilakukan ketika dzahir ayat
tidak bisa dipahami akan tetapi apa yang dilakukan oleh kalangan kebatinan
terlalu kelewat batas. Mereka menakwili ayat muhkam yang sudah jelas maksud dan
tujuan ayat itu sendiri. Mereka menakwil
kebatinan sesuai dengan kehendak mereka.[27]
Menurut mereka setiap ayat mempunyai
dzahir dan batin, dan batin inilah maksud yang dituju. Yang dzhair merupakan
kulit dan yang batin adalah isi begitulah yang diungkapkan oleh para kalangan
kebatinan dan cabangnya seperti Qaramithah, ismailiyah, Nushairiyah, Druz dan
lain sebagainya.[28]
Beberapa contoh penakwilan para
kalangan kabatinan adalah Zina menurut mereke menyusupkan setetes ilmu batin di
dalam jiwa orang yang sebelumnya tidak terikat oleh sumpah setia. Makna Thahur
menurut mereka membebaskan membersihkan diri dari keyakinan setiap madzhab
selain baiat kepada imam.
4.
Menghindari Isra’iliyat
Israiliyat adalah pegnaruh-pengaruh kebudayaan yahudi dan nasrani
terhadap penafsir Al-Qur’an.
Informasi-informasi yang berasal dari ahli kitab baik yahudi dan nasrani
digunakan untuk memperjelas Nash-Nash Al-Qur’an, pada umumnya Isra’iliyat ini
dapat berupa cerita-cerita dan dongeng-dongeng.[29]
Isra’iliyat merupakan gambaran peperangan
ilmiah antara orang kafir madinah dengan islam. Ketika orang-orang yahudi dan
nasrani mengalami pergeseran politik dengan islam, mereka tidak hanya diam
begitu saja, melainkan mereka tetap melakukan perlawanan-perlawan yang tidak
Nampak, salah satunya dengan peperangan ilmiah yang berupa
penyusupan-penyusupan Isra’iliyat kedalam para mufasir Al-Qur’an sehingga
mengkikis kepercayaan umat itu sendiri.[30]
Menurut Yusuf Qadhawi diantara
kelemahan para penafsir islam ialah mempercayai isra’iliyat, padahal sudah
jelas bahwa Isra’iliyat membawa bermacam-macam khurafat dan kebatilan yang
ditawarkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani, lagi pula mayoritas kisah-kisah
itu tidak tercantum dalam kitab-kitab mereka hanya beredar dari mulut kemulut kemudian
dikutib kesana kemari yang tidak berlandaskan pengetahuan.[31]
Sebagaian Para ulama menggunakan
istilah israilliyat untuk riwayat yang didapat dari
orang-orang Yahudi dan Nasrani, baik berupa kisah-kisah atau dongengan yang
umumnya berkaitan dengan fakta-fakta sejarah, keadaan umat pada masa lampau dan
berbagai hal yang pernah, sepeti yang ada
pada kitab tafsir:
a.
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ath-Thabari yang
mengutip banyak ceritaisrailiyat yang mayoritas diambil dari Wahab
ibn Munabbih seorang tokoh israiliyat
Ibnu
Katsir yang meskipun dinyatakan kitab tafsir yang paling selamat dari kisahisrailiyat,
namun tetap mencantumkan kisah israiliyat dibeberapa
bagiannya,
b.
Ma’alim al-Tanzil karya Al-Baghawi
c.
Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an karya Al-Tsa’labi
d.
Libaab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin
e.
Al-Ma’ani karya Al-Aalusi
f.
Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an karya Al-Qurthubi
g.
Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari
Di antara contoh-contoh
Israiliyat yang dapat di kemukakan adalah:
1. Kisah Nabi
Sulaiman.
Israiliyat Yang terdapat dalam Tafsir
Att-Thabari, dari Basyir dari Yazid dari Said dari Qatadah yang berkaitan
dengan kisah Nabi Sulaiman :
Israiliyat itu menjelaskan bahwa ada seseorang
berkata pada Nabi Sulaiman bahwa didasar laut terdapat setan yang bernama Syahr
Al-Maridhah ( batu durhaka ), lalu NabiSulaiman mencarinya dan ternyata di sisi
laut terdapat sumber mata air yang memancar satu kali dalam seminggu. Pancaran
ini sangat jauh dan kemudian sebahagiannya menjadiarak. Nabi Sulaiman dating
pada saat Pancarannya berubah menjadi arak. Dan ia berkata, “Sesungguhnya
engakau (arak) adalah minuman yang sangat nikmat hanya saja engkau menyebabkan
orang yang sabar mendapat musibah dan orang bodoh bertambah kebodohannya”. Lalu
Nabi Sulaiman pulang, tetapi dalam perjalannanya ia merasa dahaga yang sangat
dan kembali ketempat tersebut, Ia meminum arak hingga hilanglah
kesadarannya. Dalam kondisi seperti itu, ia melihat cincinnya dan
merasa terhina karenanya, lalu dilemparlah cincin itu ke laut dan dimakan oleh
seekor ikan, sehingg ahilanglah seluruh kerajaannya, Setan lalu datang
menyerupainya dan duduk di atas singgasana Nabi Sulaiman.
2. Kisah Nabi Isma’il
Israiliyat yang berkaitan dengan kisah penyembelihan Nabi Ismail,
yaitu berasal dariKa’ab bin Akhbar yang menyebutkan bahwa yang disembelih itu
adalah Ishaq bukanIsmail. Israiliyat ini menurut Ibnu Katsir merupakan tipuan
dan dusta karena bertentangan dengan Nash Al-Qur’an sendiri. Orang Yahudi lebih
suka menyebut Ishaq karena ia adalah nenek moyangnya, sedangkan Ismail adalah
nenek moyang orang Arab.
3. Kisah Awal Surat Qaf
Israiliyat yang dikuti oleh Ibnu Katsir tentang awal Surat Qaf
ialah Qaf adalahsebuah nama gunung yang mengelilingi bumi. Namun menurut Ibnu
Katsir pendapat ini merupakan israiliyat yang tidak perlu dibenarkan dan
didustakan
Dari kategori kisah-kisah Israiliyyat itu, Ibnu Taimiyyah
berpendapat bahwa cerita Israiliyyat yang shahih boleh diterima; cerita yang
dusta harus ditolak; dan yang tidak diketahui kebenaran dan kedustaannya
didiamkan; tidak disutakan dan tudak juga dibenarkan. Jangan mengimaninya dan
jangan pula mebohonginya.
Secara umum, ada dua pendapat ulama yang memberikan pendapat
tentang diakui atau tidaknya israiliyyat. Pendapat pertama, menagatakan
keharamnya, sedangkan lainnya mengatakan kebolehannya.[33]
5.
Memperhatikan Konteks Kalimat
Menurut Yusuf Qardhawi untuk memahami al-Qur’an dengan benar, harus
memperhatikan konteks ayat dan kontek
kalimat di dalam al-Qur’an. Ia tidka boleh putus dengan hubungan sebelumnya dan
setelahnya kemudian diseret untuk memberikan makna yang mempunyai tujuan
tertentu untuk memperkuat hukum.
Petunjuk konteks ayat membantu untuk memperjelas sesuatau yang
mujmal dan menentukan tidak adanya kemungkinan makna lain selain yang
dikehendaki, mengkhususkan yang umum, mengikat yang mutlak, dan keberagaman
pengertian. Seperti firman Allah SWT,
Rasakanlah, Sesungguhnya kamu orang yang Perkasa lagi mulia (ad-Dukhan: 49)
“Kamu” dalam hal ini konteksnya menunjukkan bahwa ia bahwa seorang
yang hina dan tercela,
6.
Memutuskan Berdasarkan Ketetapan Bahasa
Al-Qur;an mempunyai bahasa tersendiri yaitu bahasa arab, maka
lafadz arab harus ditafsiri dengan ptunjuk bahasa arab dan penggunaannya
sejalan dengan kaidah-kaidah sesuai dengan balaghah Al-Qur’an, karena didalam
al-Qur’an terdapat lafadz yang berbentuk majaz dan ada pula yang mempunyai
beerapa makna. Maka dari itu ada beberapa cara untuk memutuskan berdasarkan
ketetapana bahasa yaitu;
a.
Memperhatikan
Leksikal Kalimat Pada Masa Turunnya Al-Qur’an
Bahasa menjadi rujukan dan
acuan adalah bahasa yang dikenal pada masa turunnya al-Qur’an dan
ungkapan-ungkapan yang ditunjukkan berbagai lafadz pada zaman itu, bukan
leksikal kata yant terjadi setelah masa itu. Sebab leksikal lafadz dan susunan
kalimat berkembang menurut perkembangan zaman, kemajuan ilmu dan pengetahuan,
interaksi antar bangsa dan gesekan peradaban. Maka seorang mufasir tidak boleh
menetapkan berdasarkan leksikal yang baru itu.
Seperti kata Fiqh
yang diungkapkan oleh ulama Fiqh secara terminology tentu tidak sama degan fiqh
yang terdapat dalam al-Qur’an. Begitu pula kata Hikmah dalam Al-Qur’an tidak
sama Hikmah yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali. Dan perkataan Sa’ihin
(Q.S Al-Taubah:112) dan sa’ihat (Q.S
Al-Tahrim: 5 ) bukan berarti bermakna dunia pariwisata dizaman sekarang yang
ditempati para bule, akan tetapi yang dimaksud Siyahah disini adalah makna
spiritual seperti puasa adapun makna materialnya adalah Hijrah fi Sabilillah
b.
Memperhatikan
Ayat-Ayat Yang Bersifat Mengkhususkan Dan Yang Member Batasan
Hanya bersandar kepada bahasa semata tanpa mengikuti metode yang
sudah ditentukan maka akan membawa beberapa penyimpangan. Semisal kata
Sabililah dalam ayat “ Sesungguhnya Shadaqah itu hanya untuk…..(At-Taubah: 60),
menurut dasar peletakannya mencakup segala bentuk ketaatan, maka zakat bisa
diberikan kepada orang yang mengerjakan shalat, puasa, berdzikir, membaca
al-Qur’an, menyinggirkan gangguan dari jalan. Tentu saja bukan ini yang
dimaksudkan. Dalam hal tersebut harus ada pengkhususan dan pembatas.[34]
[1] Yusuf Qardhawi, Masalah-Masalah Isalam
Kontemporer, (Jakarta: Najah Press 1994) Cet I h. 219
[2] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam
j. 5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve
2005) h. 322
[3] E-book Kumpulan Buku Yusuf
Qardhawi dalam https://www.pakdenono.com
[4] Ibid.,
[5] Ibid.,
[6] Yusuf Qardhawi, Bagaimana
Berinteraksi Dengan al-Qur’an, (Pustaka Kautsar: Jakarta Timur, 2008) Cet
5, h. 3
[8] Ibid, Bagaimana Berinteraksi
Dengan al-Qur’an…h. 39-50
[9] Ibid, h. 56
[10] Raghib As-Sirjani, Cara Cerdas Hafal Al-Qur’an, (Aqwam:
Solo, 2009) h. 32
[11] Ibid, h. 43
[12] Ibid, h. 55
[13] Yunus Hanis Syam, Fasih Baca Al-Qur’an, (Tugu Publisher:
Yogyakarta, 2008), h. 37
[14]
Hiasi bacaan kalian dengan bacaan al-Qur’an ( Diriwayatkan Ahmad dan Abu
daud)
[15] Dan apabila dibacakan Al
Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat[Al-‘Araf 591].
[16]
Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian. Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman
(sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan
sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas
muka mereka sambil bersujud, dan mereka
berkata: "Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti
dipenuhi". dan mereka menyungkur
atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'. (Al-Isra’
106-109)
[17] Usman, Ilmu Tafsir
(Sukses offset: Yogyakarta, 2009), 282
[18] Nashori LAl, Tafsir Bil Ra’yi,
(Gaung Persada Press: Jakarta, 2010), h.1-2
[19] Ibid, Bagaimana berinteraksi
degan Al-Qur’an...h. 221
[20] Ibid, h. 232
[21] Lilik Canna dan Syaiful
Hidayat, Ulum Al-Qur’an dan
Pembelajaran, (Kopertais IV Press: Surabaya, 2011) Cet II, h 269
[22] Ibid, h. 270-275
[23]
Sayyid Alawy, Faidhul Khobir wa Khalasha al-Taqriry, (
Al-Hidayah: Surabaya), h. 27
[24] Ibid, Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Qur’an…h.321
[25] Supriadi, Pengantar Filsafat
Islam, (Pustaka Setia: Bandung, 2009), h. 50
[26]
Ibid, Bagaimana
Berinteraksi Dengan Al-Qur’an...h. 333
[27] Ibid, h. 321
[28] Ibid, h. 322
[29] [29] Ibid
, Ilmu Tafsir…h. 33
[30] Ibid, h. 35
[31] Ibid, Bagaimana Beinteraksi DenganAl-Qur’an…h.
388
[32] Lihat
buku Al-Israiliyyat wa
al-Maudlu’at fi Kutubi al-Tafsir oleh
Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah, cet. 4, Kairo: Maktab al-Sunnah, 1408 H.
[33] Muhammad
husain Az-Zahabi, Al-Tafsir Wal-Mufassirun, Terjemahan Ensiklopedia
Tafsir,( Jakarta:Kalam Mulia, 2010) hal. 165
[34] Ibid, Bagaimana Berinteraksi
Dengan Al-Qur’an...247
Satu pencerahan yg baik, sila lihat satu pengkajian Al-Quran yg terkini yg agak menarik lain dari yg lain ... https://kajian-quran.blogspot.com?
ReplyDelete