Kata
hermenutik berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein”, yang berarti menafsirkan.
Dalam mitodologi Yunani, kata ini sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes,
seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia.
Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalih bahasakan ucapan para dewa
kedalam bahasa yang dapat di mengerti manusia. Pengalihbahasaan sesungguh-nya
identik dengan penafsiran. Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika
memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.[1]
Pengasosian
Hermeneutik dengan Hermes ini saja secara sekilas menunjukkan adanya tiga unsur
yang pada akhirnya menjadi variabel utama pada kegiatan manusia dalam memahami
yaitu:
1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi
sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa
oleh Hemes.
2. Perantara atau penafsir (Hermes).
3. Penyampaian pesan itu oleh sanga
perantara agar bisa di pehami dan sampai kepada yang menerima.
Beberapa
kajian menyebut bahwa Hermeneutik adalah “proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidak tahuan menjadi tahu dan mengerti”. Definisi agaknya definisi yang umum,
karena jika melihat dari terminologinya, kata Hermeneutika ini bisa
diderivasikan ke dalam tiga pengertian:
1. Pengungkapan pikiran dalam kata-kata,
penerjemahan dan tindakan sebagai penafsir.
2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa
asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa
dimengerti oleh si pembaca.
3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang
jelas, diubah menjadi bentuk-bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Tokoh Barat
Secara
lebih luas Hermneutika didefinisan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya
menjelaskan dan menulusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau
tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang
menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembacanya.[2]
Asumsi
paling mendasar dari hermeneutika itu sebenarnya telah jelas, yaitu adanya
pluralitas dalam proses pemahaman manusia. Pluralitas yang dimaksud sifatnya
niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup
manusia. Sebenarnya, keasadaran akan pluralitas pemahaman yang disebabkan oleh
perbedaan konteks ini telah muncul sejak lama dalam tradisi intelektual
filosofis, misalnya dalam perbedaan antara nomena-fenomena
dari Immanul Kant. Menurut Kant, ketika seseorang berinteraksi dengan
sesuatu dan kemudian memahaminya lalu mengasilkan sebuah pengetahuan tentang
sesuatu tersebut, tidak pernah seseorang itu mampu memproduksi pengetahuan
tentang sesuatu tersebut sebagai sesuatu yang otentik sebagaimana adanya, namun
pengetahuan yang diahasilkannya adalah pengetahuan sesuatu itu “menurut dia”
atau sebagaiamana yang ia tangkap”. Peristiwa yang sama, jika dipahami oleh
orang yang berbeda, sangat mungkin hasil pemahannya juga berbeda. Bahkan
peristiwa yang sama jika dihayati oleh orang yang sama namun dalam waktu yang
berbeda, maka peristiwa tersebut menjadi “peristiwa menurut yang menyentuh atau
yang memahaminya”.
Dizaman
modern pemahaman dengan penimbangan konteks yang dipahami dan pelacakan
terhadap apa saja yang mempengaruhi sebuah pemahaman sehingga mengahasilkan
keragaman, itulah kiranya yang menjadi fokus hermeneutika. Pada awal
“kebangkitannya kembali” Hermeneutika dikenal sebagai gerakan eksegesis di
kalangan gereja. F.E.D. Scheiermacher, yang di kenal sebagai “Bapak
Hermeneutika Modern”, yang pertama kali berusaha membakukan hermeneutika
Hermeneutika sebagai suatu metode umum interpretasi yang tidak hanya terbatas
pada kitab suci dan sastra: kemudian Wilhelm Dilthey menerapkan sebagai metode
sejarah, lalu Hans Gadamer mengembangkannya menjadi ‘filsafat’, Paul Ricoeur
menjadikannya sebagai metode penafsiran fenomenologis-komprehensif.
Lain
dari itu dari beberapa filosof post strukturalis seperti Jurgen Habermas,
Jacques Derrida maupun Michel Foucault, mengembangkan sebentuk ‘kritik
hermeneutik’, yaitu yang menganalisis proses pemahaman manusia yang sering
terjebak otoritarianisme, khusus nya karena tercampurnya
determinasi-determinasi sosial budaya psikologis dalam kegiatan memahami. Lain
dari itu perlu pula disebut banyak tokoh lain yang memanfaatkan hermeneutika
sebagai alat bedah bagi disiplin keilmuan masing-masing, khususnya para
pengkaji ilmu-ilmu agama.[3]
Untuk
lebih memudahkan pemahaman tetang perbedaan jenis-jenis hermeneutika ini, ada
baiknya secara definitif ditegaskan lagi ketiga perbedaan hermeneutika ini:
1. Hermeneutika yang berisi cara untuk
memahami.
2. Hermeneutiak yang berisi cara untuk
memahami pemahaman.
3. Hermeneutika yang berisi cara untuk
mengkritisi pemahaman.[4]
Tokoh Islam
Dalam pendapat Al Ghozali Metode
hermenutik menekankan kesadaran pada teks (text),
konteks (contexs) dan
kontekstualisasi,[5]
sampai saat ini ilmu yang dalam perkembangannya menjadi bagian dari kajian
filsafat ini telah mengalami perkembangan signifikan di tangan para hermeneut
Muslim kontemporer. Berbagi metode telah tersajikan untuk menyempurnakan kerangka
metodologis ilmu Al Qur’an. Pengelempokan aliran-aliran hermeneutika Al Qur’an
menjadi tiga kelompok: pertama,
pandangan quasi-obyektivis tradisionalis, yakni suatu pandangan bahwa Al Qur’an
harus dipahami, ditafsirkan serta diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia
telah juga dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi dimana al
Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada para
sahabatnya.
Seluruh yang tertera secara literal
dalam Al Qur’an, menurut aliran ini, harus diaplikasikan juga di masa kini dan
bahkan pada masa yang akan datang. Kedua,
quasi-obyektifis modernis, aliran yang juga memandang penting terhadap original meaning (makna asal), namun
bagi kelompok ini, makna asal tersebut hanya sebagai pijakan awal untuk
melakukan pembacaan terhadap Al Qur’an masa kini. Makna asal literal tidak lagi
dipandang sebagai pesan utama al Qur’an.
Karena
itu perangkat-perangkat metodis lain, seperti informasi tentang konteks sejarah
makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teori-teori ilmu bahasa dan sastra
modern dan hermeneutika dibuthkan dalam penafsiran ayat-ayat Al Qur’an,
sehingga makna dibalik pesan tekstual, menurut kelompok ini, harus berusaha
diungkap. Ketiga, aliran subyektifis,
yaitu aliran yang meyakini langkah penafsiran sepenuhnya merupakan subyektifitas
penafsir. Karena itu, setiap generasi berhak menafsirkan al Qur’an sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan.[6]
Dalam
pandangan shabestari, hermeneutika merupakan alat ilmiyah yang paling relevan
untuk menemukan makna historis dari teks-teks agama. Melalui hermeneutika
tersebut, akan diperoleh pemahaman baru dari teks-teks tesebut, yang hasilnya
bisa sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam konteks ini, tentunya manusia
harus diberikan kebebasan untuk berkreasi melalui daya pikirnya, melalui teks-teks
masa lalu untuk keperluan masa kini. Menurutnya, al Qur’an telah mengakui
kemampuan manusia sehingga mereka dijadikan sebagai khalifah di muka bumi ini. pengakuan tersebut tidak hanya
didasarkan pada kesanggupan menerima amanah dari Allah, tetapi juga disebabkan
oleh kemampuan akala manusia. Untuk itu, akal harus diberikan keleluasaan untuk
memahami pesan-pesan teks telah dikejawantahkan Allah melalui firmanNya di
dalam Al Qur’an . inilah yang dikehendaki oleh Shabestari, yaitu memberikan
kebebasan nalar manusia dalam memahami pesan-pesan Allah.[7]
Kebebasan
tersebut tidak dimaksudkan bebas tanpa batasan, karena bagaimanapun juga,
manusia tetap dibatasi oleh empat dimensi, yaitu sejarah, masyarakat tubuh dan
bahasa. Peranan wahyu ilahi adalah untuk membuka pandangan baru, tanpa
meniadakan keberadaan empat dimensi tersebut, untuk menjadikan wahyu itu nyata
dan dipahami manusia, meskipun nantinya banyak mendapat hambatan.
Untuk
membumikan pesan wahyu ilahi, sangat diperlukan penafsiran melalui sebuah pendekatan
hermeneutik, oleh karena penafsiran itu sendiri merupakan bagian dari proses
hermeneutika. Teks wahyu harus dijadikan sasaran untuk ditafsirkan dengan
hermeneutik secara subyektif, sebab setiap teks adalah realitas tersembunyi
yang harus terungkap melalui kegiatan penafsiran. Karena kenyataannya,
teks hadir untuk berbicara memalui
penafsiran, dan mengalirkan apa saja yang temuat didalamnya.[8]
Penjelasan
Shabestari mengenai teks di atas, sangat tampak dipengaruhi oleh pemikir
Gadamer. Menurut Gadamer, setiap teks itu memiliki maksud atau tujuan tertentu
saat dibahasakan. Bahasa dalam konteks ini tidak saja menjadi media
pengungkapan diri, tetapi adalah teks bertujuan yang bisa tapak dari percakapan
yang dilakukan. Terjadi suatu hubungan berhadapan-hadapan antara pemahaman
dengan penafsiran. Peristiwa yang terjadi dalam hubungan itu adalah pembicaraan
(speaking) dan bersuara (giving speeches) antara seseorang dengan
orang lain-nya.
Bagi
Gadamer, bahasa bukan saja menjadi medium dalam percakapan, tetapi juga menjadi
mediasi masa lalu dan masa kini. Hal ini berarti bahasa dapat dikonstruksi dan
ditetapkan dalam suatu trem original
yang menerangkan “sesuatu” secara memadai. Ini berkaitan dengan tanda dan
fungsi yang bisa tergambar melalui kata, sesuatu yang menunjuk pada konsep “correctness” (kebenaran, ketepatan) yang
menghadirkan diri di dalam dan melalui bahasa tersebut. Jadi, bahasa memiliki
kapasitas aktual untuk mengkomunikasikan apa yang tepat dan benar didalam
locusnya. Hal ini dapat dipahami bahwa teks sebagai bagian dari bahasa akan
bisa dibunyikan jika telah berhubungan dengan pembacanya, dan dari hasil
pembacaan itu, akan lahirlah penafsiran.[9]
[1] Saifudin, Hermeneutika Al-Qur’an
& Hadis, (eLSAQ Pres, Yogyakarta 2010), ditulis dalam makalah dengan
judul hermeneutika sufi. 37
[2] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al
Qur’an Tema-tema Kontroverasial, (eLSAQ Press, Yogyakarta 2005). Hal. 5
[3] Ibid, Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al Qur’an Tema-tema
Kontroverasial, hal. 7.
[4] Ibid, hal 10.
[5] Kurdi, Hermeneutika Al-Qur’an
& Hadis, (eLSAQ Pres, Yogyakarta 2010), ditulis dalam makalah dengan
judul Hermeneutika Al Qur’an ABU HAMID AL-GHAZALI. 3
[6] Ibid. 6
[7] Adnan, Hermeneutika Al-Qur’an
& Hadis, (eLSAQ Pres, Yogyakarta 2010), ditulis dalam makalah dengan
judul Hermeneutika Intersubjektif Mohamad Mojtahed Shabestari. 157
[8] Ibid. 157
[9] Ibid. 158
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Lampirkan Komentar anda pakai Anonymous, supaya lebih mudah